Jumat, 26 Juli 2013

Makalah metode Penelitian Tafsir


 BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kemajuan zaman menyebabkan orang-orang khususnya para ahli untuk terus meneliti berbagai bentuk model penelitian. Salah satunya adalah model penelitian tafsir yang sangat diperlukan karena mempunyai banyak manfaat diantaranya di gunakan untuk menafsirkan ayat-ayat yang terkandung dalam Alquran.
Dalam perkembangannya, model penelitian tafsir banyak yang melatar belakanginya salah satunya adalah karena banyak bermunculan hadist-hadist palsu setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw dan karena banyak terjadi perubahan sosial yang belum pernah terjadi di masa Rasulullah Saw.
       Dalam kajian kepustakaan dapat di jumpai berbagai hasil penelitian para pakar Alquran terhadap produk tafsir yang dilakukan generasi terdahulu. Masing-masing peneliti telah mengembangkan model-model penelitian tafsir yang lengkap dengan hasil-hasilnya.
B.     Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah:
1.      Apakah yang di maksud dengan tafsir dan apa sajakah fungsinya?
2.      Bagaimanakah latar belakang tafsir?
3.      Apa sajakah model-model penelitian tafsir?
C.    Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang di berikan oleh dosen pembimbing mata kuliah metode studi islam. Selain itu ada beberapa tujuan yang lain, di antaranya:
1.      Menjelaskan tentang tafsir beserta fungsinya
2.      Menjelaskan latar belakang tafsir
3.      Menyebutkan dan menjelaskan model-model penelitian tafsir

BAB II
MODEL PENELITIAN TAFSIR

A.    Pengertian Tafsir dan Fungsinya
Kata model berarti contoh, acuan, ragam, atau macam[1]. Sedangkan penelitian berarti pemeriksaan, penyelidikan yang dilakukan dengan berbagai cara secara seksama dengan tujuan mencari kebenaran-kebenaran objektif yang di simpulkan melalui data-data yang terkumpul. Kemudian kebenaran-kebenaran tersebut digunakan sebagai dasar atau landasan untuk pembaharuan pengembangan atau perbaikan dalam masalah-masalah teoretis dan praktis dalam bidang-bidang pengetahuan yang bersangkutan.
Adapun tafsir berasal dari bahasa Arab, fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman dan perincian[2]. Selain itu tafsir berarti al-idlah wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan. Pendapat lain mengatakan bahwa kata tafsir sejajar dengan timbangan (wazan) kata tafil diambil dari kata al-fasr yang berarti al-bayan (penjelasan) dan al-kasyf yang berarti membuka atau menyingkap, dan dapat pula diambil dari kata al-tafsarah, yaitu istilah yang digunakan oleh dokter untuk mengetahui penyakit.
Pengertian  tafsir sebagaimana dikemukakan pakar Alquran tampil dalam formulasi yang berbeda-beda, namun esensinya sama. Al-Jurjani, misalnya mengatakan bahwa tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya, baik konteks historisnya maupun sebab al-nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjuk kepada makna yang di kehendaki secara terang dan jelas. Iman Al-Zarqani mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan Alquran baik dari segi pemahaman, makna atau arti sesuai di kehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia[3]. Abu Hayan, sebagaimana dikutip Al-Suyuthi, mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang didalamnya terdapat pembahasan mengenai cara mengucapkan lafal-lafal Alquran disertai makna serta hukum-hukum yang terkandung didalamnya. Az-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (Alquran), dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung didalamnya[4].
Dari beberapa definisi di atas kita menemukan tiga ciri utama tafsir:
1.   Di lihat dari segi objek pembahasannya adalah kitabullah (Alquran) yang di dalamnya terkandung firman Allah Swt yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril.
2.  Dari segi tujuannya adalah untuk menjelaskan, menerangkan, menyingkap kandungan Alquran sehingga dapat di jumpai hikmah, hukum, ketetapan, dan ajaran yang terkandung di dalamnya.
3.   Dari segi sifat dan kedudukannya  adalah hasil penalaran, kajian, dan ijtihad para mufassir yang didasarkan pada kesanggupan dan kemampuan yang dimilikinya, sehigga suatau saat dapat di tinjau kembali.
Dengan demikian, secara singkat dapat di ambil suatu pengertian bahwa yang dimaksud dengan model penelitian tafsir adalah suatu contoh, ragam, acuan, atau macam dari penyelidikan secara seksama terhadap penafsiran Aquran yang pernah dilakukan generasi terdahulu untuk diketahui secara pasti tentang berbagai hal yang terkait dengannya.
Objek pembahasan tafsir, yaitu Alquran merupakan sumber ajaran islam. Maka menurut, Quraish Shihab pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran, melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan sangat besar bagi maju mundurnya umat, sekaligus dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.

B.     Latar Belakang Penelitian Tafsir
Dilihat dari segi usianya, penafsiran Alquran termasuk yang paling tua dibandingkan dengan kegiatan ilmiah lainnya dalam islam. Pada saat Alquran diturunkan lima belas abad yang lalu, Rasullullah Saw yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) telah menjelaskan arti dan kandungan Alquran kepada sahabat-sahabatnya, khususnya ayat-ayat yang tidak diketahui artinya. Setelah wafatnya Rasulullah mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam Ai Bin Abi Thalib, Ibn ‘Abbas, Ubay bin Kaab dan Ibn Mas’ud[5].
Disamping itu, para tokoh tafsir di kalangan sahabat mempunyai murid-murid dari para tabi’in khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal, sehingga lahirlah tokoh-tokoh baru dari kalangan  tabi’in di kota-kota tersebut.
Penafsiran Rasululah SAW, penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi’in  di kelompokkan menjadi satu kelompok yang  selanjutnya dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.
Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi’in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir. Pada periode kedua ini bermunculanlah hadits-hadits palsu dan lemah di tengah masyarakat yang mengakibatkan perubahan sosial semakin menonjol dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW, para sahabat dan tabi’in.
Berdasarkan pada adanya upaya penafsiran Al-Qur’an dari sejak zaman Rasulullah SAW hingga dewasa ini, serta adanya sifat dari kandungan Al-Qur’an yang terus menerus memancarkan cahaya kebenaran itulah yang mendorong timbulnya dua kegiatan. Pertama,kegiatan penelitian disekitar produk-produk penafsiran yang dilakukan generasi terdahulu, dan kedua, kegiatan penafsiran Al-Qur’an itu sendiri[6].
C.    Model-Model Penelitian Tafsir
1.      Model Quraish Shihab
Model penelitian tafsir yang dikembangkan oleh H.M. Quraish Shihab lebih banyak bersifat eksploratif, deskriptif, analitis, dan perbandingan. Model penelitian ini berupaya menggali sejauh mungkin produk tafsir baik yang bersifat primer, yakni yang di tulis oleh ulama tafsir yang bersangkutan, maupun ulama lain. Data-data yang di hasilkan dari berbagai literatur , kemudian dideskripsikan secara lengkap serta dianalisis dengan menggunakan pendekatan kategorisasi dan perbandingan.
Hasil penetian H.M. Quraish Shihab terhadap Tafsir al-Manar Muhammad Abduh, misalnya menyatakan bahwa Syaikh Muhammad Abduh (1849-1909) adalah salah seorang ahli tafsir yang banyak mengandalkan akal, menganut prinsip tidak menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak terjangkau oleh pikiran manusia, tidak pula ayat-ayat yang samar atau tidak terperinci dalam Alquran.
Dengan tidak memfokuskan pada tokoh tertentu, Quraish Shihab telah meneliti hampir seluruh karya tafsir yang dilakukan para ulama terdahulu. Dari penelitian tersebut dihasilkan kesimpulan yang berkenaan dengan tafsir. Antara lain tentang: 1. Periodesasi pertumbuhan dan perkembangan; 2. Corak-corak penafsiran; 3. Macam-macam metode penafsiran Alquran; 4. Syarat-syarat dalam menafsirkan Alquran; 5. Hubungan tafsir modernisasi[7]. Berbagai aspek yang berkaitan dengan penafsiran Alquran ini dapat dikemukakan secara singkat sebagai berikut.
a.     Periodesasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir
Menurut hasil penelitian Quraish, jika tafsir dilihat dari segi penulisannya (kodifikasi), perkembangan tafsir dapat dibagi ke dalam tiga periode[8]. Periode I, yaitu masa Rasulullah, sahabat dan permulaan tabi’in, dimana tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan. Periode II, bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan ‘Umar bin Abdul ‘Aziz (99-101 H) dimana tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis, dan dihimpun dalam satu bab –bab hadis walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah tafsir bin al-Ma’tsur. Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, oleh sementara ahli  dimulai oleh Al-Farra (w. 207 H) dengan kitabnya berjudul Ma’ani Alquran.
Periodesasi tersebut masih dapat ditambahkan lagi dengan periode keempat, yaitu periode munculnya para peneliti tafsir yang membukukan hasil penelitian itu, sehingga dapat membantu masyarakat mengenal karya-karya tafsir yang ditulis oleh ulama pada periode sebelumya dengan mudah.

b.     Corak-corak penafsiran
a.   Corak sastra Bahasa, yang timbul akibat kelemahan- kelemahan-kelemahan  orang Arab sendiri dibidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur’an di bidang ini.
b.      Corak Filsafat dan Teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam lslam yang dengan sadar atau tidak masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka.
c.   Corak Penafsiran Ilmiah, akibat kemajuan ilmu  pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.
d.     Corak Fiqih atau Hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab – mazhab fiqih yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran – penafsiran mereka terhadap ayat – ayat hukum.
e.   Corak Tasawuf, akibat timbulnya gerakan – gerakan sufi sebagai reaksi terhadap kecenderungan berbagai pihak terhadap materi atau sebagai kompensasi terhadap  kelemahan yang dirasakan.
f.   Bermula pada masa Syaikh Muhammad Abduh (1849 – 1905 M) corak – corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan.

c.       Macam-macam metode penafsiran Alquran
 Secara garis besar dapat dibagi dua:
1)      Corak Ma’tsur ( Riwayat)
Metode Ma’tsur memiliki keistimewaan antara lain:
a.       Menekankan pentingnya bahasa dalam memahai Al-Qur’an.
b.      Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan – pesannya.
c.       Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat – ayat sehingga membatasinya terjerumus dalam subyektipitas berlebihan.
 Sedangkan kelemahannya yaitu:
a.    kebahasaan dan kesusastaraan  yang bertele – tele.
b.    Sering kali konteks turunnya ayat atau sisi kronologis turunnya ayat – ayat hukum yang dipahami dari uraian nasih mansukh hampir dapat dikatakan di abaikan sama sekali[9].
2)      Metode penalaran: pendekatan dan corak – coraknya.
a.    Metode Tahlily
Metode ini dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi’iy adalah satu metode tafsir yang mufasir berusaha menjelaskan ayat – ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat – ayat Al-Qur’an sebagai mana tercantum dalam mushaf[10].
Kelebihan metode ini antara lain adanya potensi untuk memperkaya arti kata-kata melalui usaha penafsiran terhadap kosakata ayat, syair-syair kuno dan kaidah-kaidah ilmu  nahwu. Penafsirannya menyangkut segala aspek yang dapat ditemukan oleh mufassir dalam setiap ayat. Analisi ayat dilakukan secara mendalam sejalan dengan keahlian, kemampuan dan kecenderungan mufassir.
Cara penafsiran  ayat-ayat dalam Tafsir Al-Kasysyaf  karangan Al-Zamakhsyari dan Tafsir Al-Kabir  karangan Al-Razi, biasanya dijadikan sebagai contoh untuk memahami tafsir dengan cara tahlily.
b.   Metode Ijmali (metode global)
Cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan menunjukkan kandungan makna yang terdapat pada suatu ayat secara global. Metode ini cukup dengan menjelaskan kandungan yang terkandung dalam ayat secara garis besar.
c.    Metode Muqarin
Metode tafsir Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara membandingkan ayat Al-Qur’an yang satu dengan yang satu dengan yang lainnya, yaitu ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dalam dua atau lebih kasus yang berbeda, dan atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah atau kasus yang sama atau diduga sama dan atau membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. Yang tampak  bertentangan serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran Al-Qur’an.
Prosedur penafsiran dengan cara muqarin adalah:
1). Menginventarisasi ayat-ayat yang mempunyai kesamaan dan kemiripan   redaksi.
2). Meneliti kasus yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut.
3). Mengadakan penafsiran.

d.      Metode Maudlu’iy
Metode ini berupaya menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai surat yang berkaitan dengan berbagai persoalant atau topik yang di tetapkan sebelumnya. Kemudian penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh[11].
Metode maudlu’iy mempunyai dua pengertian:
Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Alquran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan  merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat antara satu dengan yang lainnya dan juga dengan tema tersebut , sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Alquran yang membahas satumasalah tertentu dari bebagai ayat atau surat Alquran dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk Alquran secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.

2.      Model Ahmad Al-Syarbashi
Pada tahun 1985 Ahmad Al-Syarbashi melakukan penelitian tentang tafsir dengan menggunakan metode deskriptif, eksploratif dan analisis. Sedangkan sumber yang digunakan adalah bahan-bahan bacaan atau kepustakaan yang ditulis para ulama tafsir, seperti Ibn Jarir Al-Thabari, Al-Zamakhsyari, Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Raghib Al-Ashfahani, Al-Syatibi, Haji Khalifah[12]. Hasil penelitian itu mencakup tiga bidang:
1.      Mengenai sejarah penafsiran Al-Qur’an yang di bagi kedalam tafsir pada masa sahabat Nabi.
2.      Mengenai corak tafsir, yaitu tafsir, ilmiah, tafsir sufi, dan tafsir politik.
3.      Mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir.
Menurutnya,tafsir pada zaman Rasullullah SAW, pada masa pertumbuhan islam disusun pendek dan ringkas karena penguasaan bahasa arab yang murni cukup memahami gaya dan susunan Al-Qur’an. Pada masa-masa sesudah itu penguasaan bahasa arab yang murni tadi mengalami kerusakan akibat percampuran masyarakat arab dengan bangsa-bangsa lain. Untuk memelihara keutuhan bahasanya, orang arab mulai meletakkan kaidah-kaidah bahasa arab seperti ilmu Nahwu (gramatika) dan Balagbab (retorika). Disamping itu, mereka juga mulai menulis tafsir Al-Qur’an untuk dijadikan pedoman bagi kaum muslim, sehingga umat islam dapat memahami banyak hal yang samar dan sulit untuk ditangkap maksudnya.
Tentang tafsir ilmiah, Ahmad Al-Syarbashi mengatakan, sudah dapat kita pastikan bahwa dalam Al-Qur’an  tidak terdapat suatu teks induk yang bertentangan dengan  bermacam kenyataan ilmiah. Munculnya istilah tafsir ilmiah yang dikemukakan Al-Syarbashi tersebut di dasarkan data pada kitab Tafsir Ar-Razi. Dalam kaitan ini ia mengatakan bahwa dalam kitab Tafsir Ar-Razi banyak bagiannya yang di anggap ilmiah,sama halnya dengan kitab tafsir Muhammad bin Ahmad Al-Iskandrani denga judul yaitu,Kasyful Asrar A-Nuraniyah al-Qur’aniyyah fi Ma Yata’allaqu bi al-Arwah al-Samawiyyah wa al-Ardliyah.Demikian juga kitab-kitab tafsir yang lain seperti Muqaranatu Ba’dhi Mababith al-Hai’ah bi al-Warid fi al-Nushushy Syar’iyyah,Karya Abdullah Pasha Fikri;Kitab Tafsir al-Jawahir karya Syaikh Thantawi Jauhari,dan kitab-kitab tafsir lainnya yang cenderung menafsirkan Al-Qur’an secara ilmiah.
Selanjutnya,tentang tafsir sufi, Al-Syarbashi mengatakan ada kaum sufi yang sibuk menafsirkan huruf-huruf Al-Qur’an dan berusaha menerangkan hubungannya yang satu dengan yang lainnya[13]. Adanya tafsir sufi tersebut ,Al-Syarbashi mendasarkan kepada kitab-kitab tafsir yang dikarang para ulama sufi.Untuk itu ia mengutip pendapat Al-Thusi yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang telah dapat dijangkau dengan berbagai macam ilmu pengetahuan,segala sesuatu yang telah dapat dipahami dan segala sesuatu yang telah diungkapkan serta diketahui oleh manusia, semuanya itu berasal dari dua huruf yang terdapat Pada permulaan Kitabullah,yaitu bismillah dan al-hamdulillah karna keduanya bermakna billah(karena Allah)dan lillah(bagi Allah).Ilmu dan pengetahuan apa saja yang dimiliki manusia atau apa saja yang telah dapat di mengerti olaeh manusia tidaklah ada dengan sendirinya,melainkan adanya Allah dan bagi Allah.
Mengenai tafsir politik,Al-Syarbashi mendasarkan pada pendapat-pendapat kaum Khawarij dan lainnya yang terlibat dalam politik dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.Menurut mereka terdapat ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan perilaku dan peran politik yang dimainkan oleh kelompok yang bertikai.Misalnya ayat yang artinya;Diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya demi keridhaan Allah.(QS.Al-Baqarah,2:207).Menurut kaum Khawarij , ayat tersebut turun berkenaan dengan Ibn Muljam, orang yang membunuh ‘Ali bin Adi Thalib.Selanjutnya,ayat yang artinya:jika ada dua golongan dari orang-orangyang beriman berperang,damaikanlah antara keduanya(QS Al-Hujarat,9).Menurut kaum Khawarij ayat tersebut diturunkan Allah berkaitan dengan terjadinya peperangan antara golongan Ali bin Abi Thalib dengan golongan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Selanjutnya,mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir,Ahmad AL-Syarbasri mendasarkan pada beberapa karya ulama yang muncul pada awal abad ke-20. Ia menyebutkan Sayyid Rasyid Ridha murid Syeikh Muhammad Abduh yang mencatat dan menuangkan kuliah-kuliah gurunya ke dalam majalah Al-manar.Untuk langkah selanjutnya, ia menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang diberi nama Tafsir al-Manar, yang artinya kitab tafsir yang mengandung pembaharuan dan sesuai dengan perkembangan zaman.Menurut Al-Syarbasri, Muhammad Abduh telah berusaha menghubungkan ajaran-ajaran Al-Qur’an dengan kehidupan masyarakat disamping membuktikan bahwa islam adalah agama yang memiliki sifat universal, umum, abadi,dan cocok bagi segala keadaan, waktu dan tempat.Metode tafsir yang digunakan Muhammad Abduh dalam tafsirnya itu adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, hadis-hadis shaih serta dengan tetap berpegang pada makna menurut pengertian bahasa Arab.Hal ini dilakukan, karena Syeikh Muhammad Abduh memandang bahwa teks induk Al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi dan menyempurnakan.
3.      Model Syaikh Muhammad Al-Ghazali
      Syaikh Muhammad Al-Ghazali dikenal sebagai tokoh pemikir Islam abad modern yang produktif. Ia menempuh cara penelitian tafsir yang bercorak eksploratif,deskriptif,dan analitis dengan berdasar pada rujukan kitab-kitab tafsir yang ditulis ulama terdahulu[14].
            Tentang macam-macam metode memahami Al-Qur’an,Al-Ghazali membaginya ke dalam metode klasik dan metode modern dalam memahami AlQur’an. Selanjutnya, Muhammad Al-Ghazali mengemukakan bahwa metode modern itu timbul sebagai akibat dari adanya kelemahan pada berbagai metode. Dalam hubungan ini, Muhammad Al-Ghazali menginformasikan adanya pendekatan atsariyah  atau tafsir bi al-ma’tsur.
      Berangkat dari adanya berbagai kelemahan yang terkandung dalam metode penafsiran masa lalu,terutama jika dikaitkan dengan keharusan memberikan jawaban terhadap berbagai masalah kontemporer dan modern,Muhammad Al-Ghazali sampai pada suatu saran antara lain: “Kita inginkan saat ini adalah karya-karya keislaman yang menambah tajamnya pandangan islam dan bertolak dari pandangan Islam yang benar dan  berdiri di atas argument yang memiliki  hubungan dengan Al-Qur’an. Kita hendaknya berpandangan bahwa hasil pikiran manusia adalah relatif dan spekulatif, bisa benar bisa juga salah. Disisi lain,kita juga menutup mata terhadap adanya manfaaat atau fungsi serta sumbangan pemikiran keagamaan lainnya,bila itu semua menggunakan metode yang tepat. Itulah sebagian kesimpulan dan saran yang diajukan Muhammad Al-Ghazali dari hasil penelitiannya.
4.      Model Penelitian Lainnya
Selanjutnya, dijumpai pula penelitian yang dilakukan para ulama terhadap aspek-aspek tertentu dari Al-Qur’an. Di antaranya ada yang memfokuskan penelitiannya terhadap kemu’jizatan Al-Qur’an, metode-metode,kaidah-kaidah dalam penafsiran Al-Qur’an, kunci-kunci untuk memahami Al-Qur’an, serta ada pula yang khusus meneliti mengenai corak dan arah penafsiran Al-Qur’an yang khusus terjadi pada abad keempat.
Selanjutnya, Amin Abdullah dalam bukunya yang berjudul studi agama juga telah melakukan penelitian deskriptif secara sederhana terhadap perkembangan tafsir . Ia mengatakan,jika dilihat secara garis besar perjalanan sejarah penulisan tafsir pada abad pertengahan , agaknya tidak terlalu meleset jika dikatakan bahwa dominasi penulisan tafsir Al-Qur’an secara leksiografis (lughawi) tampak lebih menonjol[15].
            Lebih lanjut Amin Abdullah mengatakan,meskipun begitu,masih perlu digarisbawahi bahwa karya tafsir mutakhir kaya dengan metode komparatif di dalam memahami dan menafsirkan arti suatu kosa kata Al-Qur’an.
Karya tafsir yang menonjol I’jaz umpamanya,akan membuat kita terpesona akan keindahan bahasa Al-Qur’an,tetapi belum dapat menguak nilai-nilai spiritual dan sosio moral Al-Qur’an untuk kehidupan sehari-hari manusia. Begitu juga penonjolan Asbab al-Nuzul  bila terlepas dari nilai-nilai fundamental universal yang ingin ditonjolkan,sudah tentu bermanfaat untuk mempelajari latar belakang sejarah turunnya ayat per ayat,tetapi juga mengandung minus keterkaitan dan keterpaduan antara ajaran Al-Qur'an yang bersifat universal dan transendental bagi kehidupan manusia dimanapun mereka berada.



BAB III
PENUTUP

Model berarti contoh, acuan, ragam, atau macam sedangkan penelitian berarti pemeriksaan, penyelidikan. Adapun tafsir berasal dari bahasa Arab, fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman dan perincian. Selain itu tafsir berarti al-idlah wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan.
Tiga ciri utama tafsir yaitu: 1. di lihat dari segi objek yaitu Alquran; 2. dari segi tujuannya adalah untuk menjelaskan, menerangkan, menyingkap kandungan Alquran; 3. Dari segi sifat dan kedudukannya  adalah hasil penalaran, kajian, dan ijtihad para mufassir.
Model penelitian tafsir adalah suatu contoh, ragam, acuan, atau macam dari penyelidikan secara seksama terhadap penafsiran Aquran yang pernah dilakukan generasi terdahulu untuk diketahui secara pasti tentang berbagai hal yang terkait dengannya.
Penelitian tafsir terjadi dalam dua periode, yaitu periode pertama ketika Rasulullah, para sahabat dan para tabi’in. Periode kedua yaitu  pada saat bermunculan hadits-hadits palsu dan lemah di tengah masyarakat.
Model penelitian tafsir yaitu:
1. Model penelitian tafsir yang dikembangkan oleh H.M. Quraish Shihab lebih banyak bersifat eksploratif, deskriptif, analitis, dan perbandingan. Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan mengenai tafsir diantaranya periodesasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir yang terbagi 3, corak-corak penafsiran yang terbagi 6, macam-macam metode penafsiran Alquran yang secara garis besar terbagi 2, yaitu corak ma’tsur dan metode penalaran yang terdiri dari metode tahlily, ijmali,muqarin dan maudlu’iy; syarat-syarat dalam menafsirkan Alquran, dan hubungan tafsir modernisasi.
 2. Model Ahmad Al-Syarbashi melakukan penelitian tentang tafsir dengan menggunakan metode deskriptif, eksploratif dan analisis yang mencakup 3 bidang yaitu Mengenai sejarah penafsiran Al-Qur’an yang di bagi kedalam tafsir pada masa sahabat Nabi, mengenai corak tafsir, dan mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir.
3.  Model Syaikh Muhammad Al-Ghazali cara penelitian tafsir yang bercorak eksploratif,deskriptif,dan analitis dengan berdasar pada rujukan kitab-kitab tafsir yang ditulis ulama terdahulu.
4. Model Penelitian Lainnya di antaranya ada yang memfokuskan penelitiannya terhadap kemu’jizatan Al-Qur’an, metode-metode,kaidah-kaidah dalam penafsiran Al-Qur’an, kunci-kunci untuk memahami Al-Qur’an, serta ada pula yang khusus meneliti mengenai corak dan arah penafsiran Al-Qur’an yang khusus terjadi pada abad keempat.



 


    


[1] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Metologi Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), cet.XVIII, hlm. 209.
[2] Ibid hlm. 209.
[3] Ibid, hlm. 210
[4]Ibid,  hlm. 210
[5] Ibid, hlm. 212
[6] Ibid, hlm. 214
[7] Ibid, hlm. 215
[8] Ibid, hlm. 215
[9] Ibid, hlm. 218
[10] Ibid, hlm. 219
[11] Ibid, hlm 222
[12] Ibid, hlm 224
[13] Ibid, hlm. 225
[14] Ibid, hlm. 227
[15] Ibid, hlm. 230

DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011)
 

2 komentar: