BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kemajuan zaman
menyebabkan orang-orang khususnya para ahli untuk terus meneliti berbagai
bentuk model penelitian. Salah satunya adalah model penelitian tafsir yang sangat
diperlukan karena mempunyai banyak manfaat diantaranya di gunakan untuk
menafsirkan ayat-ayat yang terkandung dalam Alquran.
Dalam perkembangannya,
model penelitian tafsir banyak yang melatar belakanginya salah satunya adalah
karena banyak bermunculan hadist-hadist palsu setelah wafatnya Nabi Muhammad
Saw dan karena banyak terjadi perubahan sosial yang belum pernah terjadi di
masa Rasulullah Saw.
Dalam
kajian kepustakaan dapat di jumpai berbagai hasil penelitian para pakar Alquran
terhadap produk tafsir yang dilakukan generasi terdahulu. Masing-masing
peneliti telah mengembangkan model-model penelitian tafsir yang lengkap dengan
hasil-hasilnya.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan
masalahnya adalah:
1. Apakah
yang di maksud dengan tafsir dan apa sajakah fungsinya?
2. Bagaimanakah
latar belakang tafsir?
3. Apa
sajakah model-model penelitian tafsir?
C.
Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas yang di berikan oleh dosen pembimbing mata kuliah metode studi islam.
Selain itu ada beberapa tujuan yang lain, di antaranya:
1. Menjelaskan
tentang tafsir beserta fungsinya
2. Menjelaskan
latar belakang tafsir
3. Menyebutkan
dan menjelaskan model-model penelitian tafsir
BAB II
MODEL PENELITIAN TAFSIR
A.
Pengertian Tafsir dan Fungsinya
Kata
model berarti contoh, acuan, ragam, atau macam[1].
Sedangkan penelitian berarti pemeriksaan, penyelidikan yang dilakukan dengan
berbagai cara secara seksama dengan tujuan mencari kebenaran-kebenaran objektif
yang di simpulkan melalui data-data yang terkumpul. Kemudian
kebenaran-kebenaran tersebut digunakan sebagai dasar atau landasan untuk
pembaharuan pengembangan atau perbaikan dalam masalah-masalah teoretis dan
praktis dalam bidang-bidang pengetahuan yang bersangkutan.
Adapun
tafsir berasal dari bahasa Arab, fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti
penjelasan, pemahaman dan perincian[2].
Selain itu tafsir berarti al-idlah wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan
keterangan. Pendapat lain mengatakan bahwa kata tafsir sejajar dengan timbangan
(wazan) kata tafil diambil dari kata al-fasr yang berarti al-bayan
(penjelasan) dan al-kasyf yang berarti membuka atau menyingkap, dan
dapat pula diambil dari kata al-tafsarah, yaitu istilah yang digunakan
oleh dokter untuk mengetahui penyakit.
Pengertian tafsir sebagaimana dikemukakan pakar Alquran
tampil dalam formulasi yang berbeda-beda, namun esensinya sama. Al-Jurjani,
misalnya mengatakan bahwa tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat Alquran dari
berbagai seginya, baik konteks historisnya maupun sebab al-nuzulnya,
dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjuk kepada makna
yang di kehendaki secara terang dan jelas. Iman Al-Zarqani mengatakan bahwa
tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan Alquran baik dari segi pemahaman,
makna atau arti sesuai di kehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia[3].
Abu Hayan, sebagaimana dikutip Al-Suyuthi, mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu
yang didalamnya terdapat pembahasan mengenai cara mengucapkan lafal-lafal
Alquran disertai makna serta hukum-hukum yang terkandung didalamnya.
Az-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui
kandungan kitabullah (Alquran), dengan cara mengambil penjelasan
maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung didalamnya[4].
Dari
beberapa definisi di atas kita menemukan tiga ciri utama tafsir:
1. Di
lihat dari segi objek pembahasannya adalah kitabullah (Alquran) yang di
dalamnya terkandung firman Allah Swt yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi
Muhammad Saw melalui malaikat Jibril.
2. Dari
segi tujuannya adalah untuk menjelaskan, menerangkan, menyingkap kandungan
Alquran sehingga dapat di jumpai hikmah, hukum, ketetapan, dan ajaran yang
terkandung di dalamnya.
3. Dari
segi sifat dan kedudukannya adalah hasil
penalaran, kajian, dan ijtihad para mufassir yang didasarkan pada kesanggupan
dan kemampuan yang dimilikinya, sehigga suatau saat dapat di tinjau kembali.
Dengan demikian, secara singkat dapat di ambil suatu pengertian
bahwa yang dimaksud dengan model penelitian tafsir adalah suatu contoh, ragam,
acuan, atau macam dari penyelidikan secara seksama terhadap penafsiran Aquran
yang pernah dilakukan generasi terdahulu untuk diketahui secara pasti tentang
berbagai hal yang terkait dengannya.
Objek pembahasan tafsir, yaitu Alquran merupakan sumber ajaran
islam. Maka menurut, Quraish Shihab pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran,
melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan sangat besar bagi maju
mundurnya umat, sekaligus dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran
mereka.
B.
Latar Belakang Penelitian Tafsir
Dilihat
dari segi usianya, penafsiran Alquran termasuk yang paling tua dibandingkan dengan
kegiatan ilmiah lainnya dalam islam. Pada saat Alquran diturunkan lima belas
abad yang lalu, Rasullullah Saw yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi
penjelasan) telah menjelaskan arti dan kandungan Alquran kepada
sahabat-sahabatnya, khususnya ayat-ayat yang tidak diketahui artinya. Setelah
wafatnya Rasulullah mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai
kemampuan semacam Ai Bin Abi Thalib, Ibn ‘Abbas, Ubay bin Kaab dan Ibn Mas’ud[5].
Disamping
itu, para tokoh tafsir di kalangan sahabat mempunyai murid-murid dari para tabi’in
khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal, sehingga lahirlah tokoh-tokoh
baru dari kalangan tabi’in di
kota-kota tersebut.
Penafsiran
Rasululah SAW, penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi’in di kelompokkan menjadi satu kelompok yang selanjutnya dijadikan periode pertama dari
perkembangan tafsir.
Berlakunya
periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi’in, sekitar tahun
150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir. Pada periode
kedua ini bermunculanlah hadits-hadits palsu dan lemah di tengah masyarakat
yang mengakibatkan perubahan sosial semakin menonjol dan timbullah beberapa
persoalan yang belum pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW, para sahabat
dan tabi’in.
Berdasarkan pada adanya upaya penafsiran Al-Qur’an dari sejak zaman
Rasulullah SAW hingga dewasa ini, serta adanya sifat dari kandungan Al-Qur’an
yang terus menerus memancarkan cahaya kebenaran itulah yang mendorong timbulnya
dua kegiatan. Pertama,kegiatan penelitian disekitar produk-produk
penafsiran yang dilakukan generasi terdahulu, dan kedua, kegiatan
penafsiran Al-Qur’an itu sendiri[6].
C.
Model-Model
Penelitian Tafsir
1. Model
Quraish Shihab
Model penelitian tafsir yang
dikembangkan oleh H.M. Quraish Shihab lebih banyak bersifat eksploratif,
deskriptif, analitis, dan perbandingan. Model penelitian ini berupaya menggali
sejauh mungkin produk tafsir baik yang bersifat primer, yakni yang di tulis
oleh ulama tafsir yang bersangkutan, maupun ulama lain. Data-data yang di
hasilkan dari berbagai literatur , kemudian dideskripsikan secara lengkap serta
dianalisis dengan menggunakan pendekatan kategorisasi dan perbandingan.
Hasil
penetian H.M. Quraish Shihab terhadap Tafsir al-Manar Muhammad Abduh, misalnya
menyatakan bahwa Syaikh Muhammad Abduh (1849-1909) adalah salah seorang ahli
tafsir yang banyak mengandalkan akal, menganut prinsip tidak menafsirkan
ayat-ayat yang kandungannya tidak terjangkau oleh pikiran manusia, tidak pula
ayat-ayat yang samar atau tidak terperinci dalam Alquran.
Dengan
tidak memfokuskan pada tokoh tertentu, Quraish Shihab telah meneliti hampir
seluruh karya tafsir yang dilakukan para ulama terdahulu. Dari penelitian
tersebut dihasilkan kesimpulan yang berkenaan dengan tafsir. Antara lain
tentang: 1. Periodesasi pertumbuhan dan perkembangan; 2. Corak-corak
penafsiran; 3. Macam-macam metode penafsiran Alquran; 4. Syarat-syarat dalam
menafsirkan Alquran; 5. Hubungan tafsir modernisasi[7].
Berbagai aspek yang berkaitan dengan penafsiran Alquran ini dapat dikemukakan
secara singkat sebagai berikut.
a. Periodesasi
pertumbuhan dan perkembangan tafsir
Menurut
hasil penelitian Quraish, jika tafsir dilihat dari segi penulisannya (kodifikasi), perkembangan tafsir dapat
dibagi ke dalam tiga periode[8]. Periode I, yaitu masa Rasulullah,
sahabat dan permulaan tabi’in, dimana
tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara
lisan. Periode II, bermula dengan
kodifikasi hadis secara resmi pada
masa pemerintahan ‘Umar bin Abdul ‘Aziz (99-101 H) dimana tafsir ketika itu
ditulis bergabung dengan penulisan hadis, dan dihimpun dalam satu bab –bab
hadis walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah tafsir bin
al-Ma’tsur. Periode III, dimulai
dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, oleh
sementara ahli dimulai oleh Al-Farra (w.
207 H) dengan kitabnya berjudul Ma’ani
Alquran.
Periodesasi tersebut
masih dapat ditambahkan lagi dengan periode keempat, yaitu periode munculnya
para peneliti tafsir yang membukukan hasil penelitian itu, sehingga dapat membantu
masyarakat mengenal karya-karya tafsir yang ditulis oleh ulama pada periode
sebelumya dengan mudah.
b. Corak-corak
penafsiran
a. Corak sastra
Bahasa, yang timbul akibat kelemahan-
kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri
dibidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka
tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur’an di bidang ini.
b.
Corak
Filsafat dan Teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat
yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama
lain ke dalam lslam yang dengan sadar atau tidak masih mempercayai beberapa hal
dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak
setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka.
c. Corak Penafsiran
Ilmiah, akibat kemajuan ilmu
pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an
sejalan dengan perkembangan ilmu.
d. Corak Fiqih atau
Hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya
mazhab – mazhab fiqih yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran
pendapatnya berdasarkan penafsiran – penafsiran mereka terhadap ayat – ayat
hukum.
e. Corak Tasawuf, akibat
timbulnya gerakan – gerakan sufi sebagai reaksi terhadap kecenderungan berbagai
pihak terhadap materi atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.
f. Bermula
pada masa Syaikh Muhammad Abduh (1849 – 1905 M) corak – corak tersebut mulai
berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan.
c. Macam-macam metode
penafsiran Alquran
Secara garis besar
dapat dibagi dua:
1)
Corak Ma’tsur ( Riwayat)
Metode Ma’tsur memiliki keistimewaan
antara lain:
a. Menekankan
pentingnya bahasa dalam memahai Al-Qur’an.
b. Memaparkan
ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan – pesannya.
c. Mengikat
mufasir dalam bingkai teks ayat –
ayat sehingga membatasinya terjerumus dalam subyektipitas berlebihan.
Sedangkan kelemahannya yaitu:
a. kebahasaan
dan kesusastaraan yang bertele – tele.
b. Sering
kali konteks turunnya ayat atau sisi kronologis turunnya ayat – ayat hukum yang
dipahami dari uraian nasih mansukh hampir
dapat dikatakan di abaikan sama sekali[9].
2) Metode
penalaran: pendekatan dan corak – coraknya.
a.
Metode Tahlily
Metode ini dinamai oleh
Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi’iy
adalah satu metode tafsir yang mufasir berusaha menjelaskan ayat – ayat
Al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat – ayat
Al-Qur’an sebagai mana tercantum dalam mushaf[10].
Kelebihan metode ini antara lain
adanya potensi untuk memperkaya arti kata-kata melalui usaha penafsiran
terhadap kosakata ayat, syair-syair kuno dan kaidah-kaidah ilmu nahwu. Penafsirannya menyangkut segala aspek
yang dapat ditemukan oleh mufassir
dalam setiap ayat. Analisi ayat dilakukan secara mendalam sejalan dengan
keahlian, kemampuan dan kecenderungan mufassir.
Cara
penafsiran ayat-ayat dalam Tafsir Al-Kasysyaf karangan Al-Zamakhsyari dan Tafsir Al-Kabir karangan Al-Razi, biasanya dijadikan sebagai
contoh untuk memahami tafsir dengan cara tahlily.
b. Metode
Ijmali (metode global)
Cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
dengan menunjukkan kandungan makna yang terdapat pada suatu ayat secara global.
Metode ini cukup dengan menjelaskan kandungan yang terkandung dalam ayat secara
garis besar.
c.
Metode Muqarin
Metode tafsir Al-Qur’an
yang dilakukan dengan cara membandingkan ayat Al-Qur’an yang satu dengan yang
satu dengan yang lainnya, yaitu ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi
dalam dua atau lebih kasus yang berbeda, dan atau yang memiliki redaksi yang
berbeda untuk masalah atau kasus yang sama atau diduga sama dan atau
membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. Yang
tampak bertentangan serta membandingkan
pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran Al-Qur’an.
Prosedur penafsiran
dengan cara muqarin adalah:
1). Menginventarisasi ayat-ayat
yang mempunyai kesamaan dan kemiripan redaksi.
2). Meneliti kasus yang berkaitan
dengan ayat-ayat tersebut.
3). Mengadakan penafsiran.
d. Metode
Maudlu’iy
Metode ini berupaya menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an
dari berbagai surat yang berkaitan dengan berbagai persoalant atau topik yang
di tetapkan sebelumnya. Kemudian penafsir membahas dan menganalisis kandungan
ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh[11].
Metode
maudlu’iy mempunyai dua pengertian:
Pertama,
penafsiran
menyangkut satu surat dalam Alquran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara
umum dan merupakan tema sentralnya,
serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat antara
satu dengan yang lainnya dan juga dengan tema tersebut , sehingga satu surat
tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. Kedua, penafsiran yang
bermula dari menghimpun ayat-ayat Alquran yang membahas satumasalah tertentu
dari bebagai ayat atau surat Alquran dan yang sedapat mungkin diurut sesuai
dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari
ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk Alquran secara utuh tentang masalah
yang dibahas itu.
2. Model Ahmad Al-Syarbashi
Pada tahun 1985 Ahmad Al-Syarbashi melakukan penelitian tentang
tafsir dengan menggunakan metode deskriptif, eksploratif dan analisis.
Sedangkan sumber yang digunakan adalah bahan-bahan bacaan atau kepustakaan yang
ditulis para ulama tafsir, seperti Ibn Jarir Al-Thabari, Al-Zamakhsyari,
Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Raghib Al-Ashfahani, Al-Syatibi, Haji Khalifah[12].
Hasil penelitian itu mencakup tiga bidang:
1.
Mengenai
sejarah penafsiran Al-Qur’an yang di bagi kedalam tafsir pada masa sahabat
Nabi.
2.
Mengenai
corak tafsir, yaitu tafsir, ilmiah, tafsir sufi, dan tafsir politik.
3.
Mengenai
gerakan pembaharuan di bidang tafsir.
Menurutnya,tafsir pada zaman Rasullullah SAW, pada masa pertumbuhan
islam disusun pendek dan ringkas karena penguasaan bahasa arab yang murni cukup
memahami gaya dan susunan Al-Qur’an. Pada masa-masa sesudah itu penguasaan
bahasa arab yang murni tadi mengalami kerusakan akibat percampuran masyarakat
arab dengan bangsa-bangsa lain. Untuk memelihara keutuhan bahasanya, orang arab
mulai meletakkan kaidah-kaidah bahasa arab seperti ilmu Nahwu (gramatika) dan Balagbab
(retorika). Disamping itu, mereka juga mulai menulis tafsir Al-Qur’an untuk
dijadikan pedoman bagi kaum muslim, sehingga umat islam dapat memahami banyak
hal yang samar dan sulit untuk ditangkap maksudnya.
Tentang tafsir ilmiah, Ahmad Al-Syarbashi mengatakan, sudah dapat
kita pastikan bahwa dalam Al-Qur’an
tidak terdapat suatu teks induk yang bertentangan dengan bermacam kenyataan ilmiah. Munculnya istilah
tafsir ilmiah yang dikemukakan Al-Syarbashi tersebut di dasarkan data pada
kitab Tafsir Ar-Razi. Dalam kaitan ini ia mengatakan bahwa dalam kitab Tafsir
Ar-Razi banyak bagiannya yang di anggap ilmiah,sama halnya dengan kitab tafsir
Muhammad bin Ahmad Al-Iskandrani denga judul yaitu,Kasyful Asrar A-Nuraniyah
al-Qur’aniyyah fi Ma Yata’allaqu bi al-Arwah al-Samawiyyah wa
al-Ardliyah.Demikian juga kitab-kitab tafsir yang lain seperti Muqaranatu
Ba’dhi Mababith al-Hai’ah bi al-Warid fi al-Nushushy Syar’iyyah,Karya
Abdullah Pasha Fikri;Kitab Tafsir al-Jawahir karya Syaikh Thantawi
Jauhari,dan kitab-kitab tafsir lainnya yang cenderung menafsirkan Al-Qur’an
secara ilmiah.
Selanjutnya,tentang tafsir sufi, Al-Syarbashi mengatakan ada kaum
sufi yang sibuk menafsirkan huruf-huruf Al-Qur’an dan berusaha menerangkan
hubungannya yang satu dengan yang lainnya[13]. Adanya
tafsir sufi tersebut ,Al-Syarbashi mendasarkan kepada kitab-kitab tafsir yang
dikarang para ulama sufi.Untuk itu ia mengutip pendapat Al-Thusi yang
mengatakan bahwa segala sesuatu yang telah dapat dijangkau dengan berbagai
macam ilmu pengetahuan,segala sesuatu yang telah dapat dipahami dan segala
sesuatu yang telah diungkapkan serta diketahui oleh manusia, semuanya itu
berasal dari dua huruf yang terdapat Pada permulaan Kitabullah,yaitu bismillah
dan al-hamdulillah karna keduanya bermakna billah(karena
Allah)dan lillah(bagi Allah).Ilmu dan pengetahuan apa saja yang dimiliki
manusia atau apa saja yang telah dapat di mengerti olaeh manusia tidaklah ada
dengan sendirinya,melainkan adanya Allah dan bagi Allah.
Mengenai tafsir politik,Al-Syarbashi mendasarkan pada
pendapat-pendapat kaum Khawarij dan lainnya yang terlibat dalam politik dalam
memahami ayat-ayat Al-Qur’an.Menurut mereka terdapat ayat-ayat Al-Qur’an yang
berkenaan dengan perilaku dan peran politik yang dimainkan oleh kelompok yang
bertikai.Misalnya ayat yang artinya;Diantara manusia ada orang yang
mengorbankan dirinya demi keridhaan Allah.(QS.Al-Baqarah,2:207).Menurut
kaum Khawarij , ayat tersebut turun berkenaan dengan Ibn Muljam, orang yang
membunuh ‘Ali bin Adi Thalib.Selanjutnya,ayat yang artinya:jika ada dua
golongan dari orang-orangyang beriman berperang,damaikanlah antara keduanya(QS
Al-Hujarat,9).Menurut kaum Khawarij ayat tersebut diturunkan Allah berkaitan
dengan terjadinya peperangan antara golongan Ali bin Abi Thalib dengan golongan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Selanjutnya,mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir,Ahmad
AL-Syarbasri mendasarkan pada beberapa karya ulama yang muncul pada awal abad
ke-20. Ia menyebutkan Sayyid Rasyid Ridha murid Syeikh Muhammad Abduh yang
mencatat dan menuangkan kuliah-kuliah gurunya ke dalam majalah Al-manar.Untuk
langkah selanjutnya, ia menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam
sebuah kitab tafsir yang diberi nama Tafsir al-Manar, yang artinya kitab
tafsir yang mengandung pembaharuan dan sesuai dengan perkembangan zaman.Menurut
Al-Syarbasri, Muhammad Abduh telah berusaha menghubungkan ajaran-ajaran
Al-Qur’an dengan kehidupan masyarakat disamping membuktikan bahwa islam adalah
agama yang memiliki sifat universal, umum, abadi,dan cocok bagi segala keadaan,
waktu dan tempat.Metode tafsir yang digunakan Muhammad Abduh dalam tafsirnya
itu adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, hadis-hadis shaih serta
dengan tetap berpegang pada makna menurut pengertian bahasa Arab.Hal ini
dilakukan, karena Syeikh Muhammad Abduh memandang bahwa teks induk Al-Qur’an
sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi dan menyempurnakan.
3.
Model Syaikh Muhammad Al-Ghazali
Syaikh
Muhammad Al-Ghazali dikenal sebagai tokoh pemikir Islam abad modern yang
produktif. Ia menempuh cara penelitian tafsir yang bercorak
eksploratif,deskriptif,dan analitis dengan berdasar pada rujukan kitab-kitab
tafsir yang ditulis ulama terdahulu[14].
Tentang
macam-macam metode memahami Al-Qur’an,Al-Ghazali membaginya ke dalam metode
klasik dan metode modern dalam memahami AlQur’an. Selanjutnya, Muhammad
Al-Ghazali mengemukakan bahwa metode modern itu timbul sebagai akibat dari
adanya kelemahan pada berbagai metode. Dalam hubungan ini, Muhammad Al-Ghazali
menginformasikan adanya pendekatan atsariyah atau tafsir bi al-ma’tsur.
Berangkat dari adanya berbagai kelemahan
yang terkandung dalam metode penafsiran masa lalu,terutama jika dikaitkan
dengan keharusan memberikan jawaban terhadap berbagai masalah kontemporer dan
modern,Muhammad Al-Ghazali sampai pada suatu saran antara lain: “Kita inginkan
saat ini adalah karya-karya keislaman yang menambah tajamnya pandangan islam
dan bertolak dari pandangan Islam yang benar dan berdiri di atas argument yang memiliki hubungan dengan Al-Qur’an. Kita hendaknya
berpandangan bahwa hasil pikiran manusia adalah relatif dan spekulatif, bisa
benar bisa juga salah. Disisi lain,kita juga menutup mata terhadap adanya
manfaaat atau fungsi serta sumbangan pemikiran keagamaan lainnya,bila itu semua
menggunakan metode yang tepat. Itulah sebagian kesimpulan dan saran yang
diajukan Muhammad Al-Ghazali dari hasil penelitiannya.
4.
Model Penelitian Lainnya
Selanjutnya,
dijumpai pula penelitian yang dilakukan para ulama terhadap aspek-aspek
tertentu dari Al-Qur’an. Di antaranya ada yang memfokuskan penelitiannya
terhadap kemu’jizatan Al-Qur’an, metode-metode,kaidah-kaidah dalam penafsiran
Al-Qur’an, kunci-kunci untuk memahami Al-Qur’an, serta ada pula yang khusus
meneliti mengenai corak dan arah penafsiran Al-Qur’an yang khusus terjadi pada
abad keempat.
Selanjutnya, Amin Abdullah dalam bukunya yang berjudul studi
agama juga telah melakukan penelitian deskriptif secara sederhana terhadap
perkembangan tafsir . Ia mengatakan,jika dilihat secara garis besar perjalanan
sejarah penulisan tafsir pada abad pertengahan , agaknya tidak terlalu meleset
jika dikatakan bahwa dominasi penulisan tafsir Al-Qur’an secara leksiografis (lughawi)
tampak lebih menonjol[15].
Lebih
lanjut Amin Abdullah mengatakan,meskipun begitu,masih perlu digarisbawahi bahwa
karya tafsir mutakhir kaya dengan metode komparatif di dalam memahami dan
menafsirkan arti suatu kosa kata Al-Qur’an.
Karya tafsir yang menonjol I’jaz umpamanya,akan membuat kita
terpesona akan keindahan bahasa Al-Qur’an,tetapi belum dapat menguak
nilai-nilai spiritual dan sosio moral Al-Qur’an untuk kehidupan sehari-hari
manusia. Begitu juga penonjolan Asbab al-Nuzul bila terlepas dari nilai-nilai fundamental
universal yang ingin ditonjolkan,sudah tentu bermanfaat untuk mempelajari latar
belakang sejarah turunnya ayat per ayat,tetapi juga mengandung minus
keterkaitan dan keterpaduan antara ajaran Al-Qur'an yang bersifat universal dan
transendental bagi kehidupan manusia dimanapun mereka berada.
BAB III
PENUTUP
Model berarti
contoh, acuan, ragam, atau macam sedangkan penelitian berarti pemeriksaan, penyelidikan.
Adapun tafsir berasal dari bahasa Arab, fassara, yufassiru, tafsiran yang
berarti penjelasan, pemahaman dan perincian. Selain itu tafsir berarti al-idlah
wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan.
Tiga ciri utama
tafsir yaitu: 1. di lihat dari segi objek yaitu Alquran; 2. dari
segi tujuannya adalah untuk menjelaskan, menerangkan, menyingkap kandungan Alquran;
3. Dari segi sifat dan kedudukannya
adalah hasil penalaran, kajian, dan ijtihad para mufassir.
Model penelitian tafsir adalah suatu contoh, ragam, acuan, atau
macam dari penyelidikan secara seksama terhadap penafsiran Aquran yang pernah
dilakukan generasi terdahulu untuk diketahui secara pasti tentang berbagai hal
yang terkait dengannya.
Penelitian tafsir terjadi dalam dua periode, yaitu periode pertama
ketika Rasulullah, para sahabat dan para tabi’in. Periode kedua yaitu pada saat bermunculan hadits-hadits palsu dan
lemah di tengah masyarakat.
Model penelitian tafsir yaitu:
1. Model penelitian tafsir yang
dikembangkan oleh H.M. Quraish Shihab lebih banyak bersifat eksploratif,
deskriptif, analitis, dan perbandingan. Penelitian ini menghasilkan beberapa
kesimpulan mengenai tafsir diantaranya periodesasi pertumbuhan dan perkembangan
tafsir yang terbagi 3, corak-corak penafsiran yang terbagi 6, macam-macam
metode penafsiran Alquran yang secara garis besar terbagi 2, yaitu corak
ma’tsur dan metode penalaran yang terdiri dari metode tahlily, ijmali,muqarin
dan maudlu’iy; syarat-syarat dalam menafsirkan Alquran, dan hubungan
tafsir modernisasi.
2. Model Ahmad Al-Syarbashi melakukan penelitian tentang tafsir dengan menggunakan metode
deskriptif, eksploratif dan analisis yang mencakup 3 bidang yaitu Mengenai
sejarah penafsiran Al-Qur’an yang di bagi kedalam tafsir pada masa sahabat Nabi,
mengenai corak tafsir, dan mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir.
3. Model Syaikh Muhammad
Al-Ghazali cara penelitian tafsir yang bercorak eksploratif,deskriptif,dan
analitis dengan berdasar pada rujukan kitab-kitab tafsir yang ditulis ulama
terdahulu.
4. Model Penelitian Lainnya di antaranya ada yang memfokuskan
penelitiannya terhadap kemu’jizatan Al-Qur’an, metode-metode,kaidah-kaidah
dalam penafsiran Al-Qur’an, kunci-kunci untuk memahami Al-Qur’an, serta ada
pula yang khusus meneliti mengenai corak dan arah penafsiran Al-Qur’an yang
khusus terjadi pada abad keempat.
[1]
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Metologi Studi Islam, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2011), cet.XVIII, hlm. 209.
[2]
Ibid hlm. 209.
[3]
Ibid, hlm. 210
[4]Ibid,
hlm. 210
[5]
Ibid, hlm. 212
[6]
Ibid, hlm. 214
[7]
Ibid, hlm. 215
[8] Ibid,
hlm. 215
[9]
Ibid, hlm. 218
[10]
Ibid, hlm. 219
[11]
Ibid, hlm 222
[12] Ibid,
hlm 224
[13]
Ibid, hlm. 225
[14] Ibid,
hlm. 227
[15] Ibid,
hlm. 230
DAFTAR PUSTAKA
Nata,
Abuddin, Metodologi Studi Islam, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2011)
azansyahrer.blogspot.com : bagus sekali, dan sangat membantu
BalasHapusya sama....
BalasHapus